10 Foto Candi Cangkuang Garut, Tiket Masuk Wisata Sejarah Peninggalan Kerajaan Cerita Rakyat Legenda
[ad_1]
Alamat Tempat Wisata: Leuwigoong, Karanganyar, Cangkuang, Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat 44119
Peta Lokasi Di Google: (Klik Koordinat)
Harga Tiket Masuk: IDR 5.000 (Dewasa), IDR 3.000(Anak Anak)
Jam Buka: 07.00 – 17.00 WIB
Nomor Telp: 022 7273209
Garut tidak hanya terkenal dengan hasil kulit dan kawasan wisata alamnya saja. Ada hal lain yang belum diketahui oleh para wisatawan saat berkunjung ke kota Dodol ini.
Salah satunya adalah kisah sejarah, historis dan peninggalan masa lalu dari kerajaan-kerajaan Sunda yang pernah memimpin Garut.
Garut mempunyai sederet kawasan wisata sejarah yang menjadi saksi bisu mengenai perkembangan budaya dan kisah sejarah di Jawa Barat serta daerah itu sendiri.
Salah satunya adalah kawasan wisata Candi Cangkuang yang mempunyai kisah dan cerita tersendiri. Peninggalan sejarah ini mempunyai sasakala atau kisah dongeng dari Sunda yang sudah sangat terkenal.
Dan bukan hanya Bandung saja yang memiliki dongengyang terkenal di Indonesia, Garut juga dikenal menyimpan cerita rakyat.
Daftar Isi
Mengenal Candi
Candi Cangkuang adalah salah satu kawasan wisata yang sangat terkenal dan menjadi diincar oleh para wisatawan ketika mengunjungi kota Garut.
Candi yang merupakan peninggalan masa kejayaan agama Hindu, objek ini letak lokasinya berada di Leuwigoong, Karanganyar, Cangkuang, Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat 44119.
Terletak di area yang cukup stragegis, tentu saja membuat objek tersebut sangat mudah untuk di akses dari ibukota Garut.
Candi Cangkuang ini tidak terlepas dari cerita atau kisah legenda, mitos, misteri dan juga cerita tentang pendiri Garut serta masa kejayaan kota di Jawa Barat.
Banyak penelitian dan juga makalah yang menghasilkan rincian analisa mengenai kebudayaan yang dibawa ke kota Garut tersebut.
Sesuai namanya, Candi ini berada di sekitar danau kecil bernama Cangkuang yang sudah terkenal di kalangan para wisatawan.
Menariknya, candi tersebut berada di kawasan kampung adat tradisional yang bernama Kampung Pulo, salah satu pesona yang ditawarkan oleh Candi Cangkuang.
Candi ini didirikan pada abad ke 8 M dan merupakan peninggalan dari kebudayaan Hindu yang tersebar di Jawa Barat.
Untuk mengunjungi spot ini para wisatawan harus menggunakan rakit untuk menyeberang ke kawasan candi yang berada di tengah danau.
Rakit yang digunakan biasanya dapat menampung banyak penumpang. Setibanya di tengah danau, para wisatawan bisa menikmati pesona alam yang sangat indah dan asri.
Berkunjung ke sini, jangan lupa mampir ke Kampung adat Pulo yang letaknya tidak jauh dari kawasan wisata Candi Cangkuang tersebut.
Disini bisa ditemukan catatan sejarah mengenai pemugaran candi dan benda-benda peninggalan dari agama Hindu dan Islam.
Sejarah Singkat
Candi Cangkuang yang berada di Kecamatan Leles ini jaraknya hanya sekitar 18 kilometer dari Garut.
Sebagai salah satu peninggalan dari agama Hindu, disini ditemukan patung atau arca Dewa Siwa yang menurut cerita berasal dari abad ke 8.
Sementara dari sisi peninggalan Islam yang menurut penelitian berasal dari abad ke 17, bisa dilihat dengan adanya makam dari Eyang Embah Dalem Arief Muhammad, seorang penyebar agama Islam pertama di Garut.
Makalah mengenai kisah sejarah Candi Cangkuang ini memang sudah cukup terkenal. Bahkan sudah diterbitkan pula dalam bentuk bahasa Inggris.
Artefak yang ada di Candi Cangkuang ini ditemukan oleh Uka Tjandrasasmita. Dan penemuan kedua artefak tersebut menjadi bukti akulturasi budaya serta gaya arsitektur yang ditampilkan.
Ketika dilakukan penggalian pada tahun 1966 ini, para peneliti menemukan pondasi candi yang bersebalahan dengan makam Eyang Arief Muhammad denan ukuran 4,5 x 4,5 meter persegi.
Dengan tinggi mencapai 8,5 meter, proses penggalian diteruskan hingga menemukan batu candi asli. Namun ini baru 40 persen saja dari bangunan asli Candi tersebut.
Sisa batu yang lainnya kabarnya digunakan oleh masyarakat sekitar di Kampung Pulo sebagai nisan bagi kuburan masyarakat.
Pasalnya mereka tidak mengetahui adanya makam dan patung Dewa Siwa serta candi bercorak khas Hindu yang merupakan peninggalan kerajaan pada zaman dulu.
Bentuk dari Candi Cangkuang ini memang hanya sisa-sisa batu saja. Namun dari sisi tampilan bisa dilihat bahwa candi tersebut bercerita tentang kejayaan Hindu di Indonesia.
Arca Dewa Siwa sendiri masih bisa disaksikan oleh para wisatawan dan arca ini dimasukkan ke dalam candi yang berfungsi untuk menutup lubang sekitar 7 meter. Lubang ini dahulu fungsinya digunakan untuk menyimpan abu dari jenazah.
Penelitian dan proses penggalian dari Candi Cangkuang ini belum selesai hingga sekarang. Jadi belum ada keterangan pasti mengenai siapakah yang membangun atau dibangun pada masa kerajaan apa.
Ditambah lagi tidak ada prasasti yang bisa memberikan informasi lengkap mengenai objek wisata satu ini.
Yang diketahui hanyalah gaya arsitektur dan waktu pembangunan yakni berdasarkan penemuan artefak.
Hal ini disampaikan oleh masyarakat Garut. Menurut penjelasannya penemuan artefak ini sesuai dengan penemuan-penemuan lain di abad yang sama.
Meski begitu kawasan wisata sejarah ini tetap memiliki nilai tersendiri. Bahkan sejarah candi tersebut sempat masuk ke dalam makalah hingga cerita pendek atau ceIDR n.
Bukti Penyebaran Islam
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Candi Cangkuang adalah peIDR duan antara penyebaran agama Hindu dan Islam di Garut.
Hal ini bisa terlihat dari penemuan artefak dan masa dibuatnya arca serta makam yang menjadi bukti penyebaran agama tersebut. Sementara bukti lainnya adalah adanya perkampungan di sekitar Candi Cangkuang tersebut.
Kampung Pulo yang letak lokasinya tidak jauh dari Candi Cangkuang ini merupakan sebuah desa tempat para penyebar agama Islam yang pertama di Sekitar Garut.
Ketika itu Eyang Embah Dalem Arief Muhammad mendirikan peradaban kehidupan masyarakat di sekitar candi tersebut, namanya dikenal dengan Kampung Pulo.
Eyang Embah Dalem Arief Muhammad merupakan salah satu panglima perang yang sangat tangguh dari Kerajaan Mataram.
Dirinya mendapatkan tugas dari sang raja yaitu Sultan Agung untuk menghadapi serangan dari tentara VOC di Batavia. Sayangnya Eyang Embah Dalem Arief Muhammad harus kalah diakibatkan kekurangan pasokan.
Dirinya kemudian enggan kembali ke Mataram dikarenakan takut mendapatkan sangsi. Akhirnya Eyang Embah Dalem Arief Muhammad pergi ke Garut dan bersembunyi di daerah Cangkuang.
Dikala Eyang Embah Dalem Arief Muhammad mengunjungi daerah Cangkuang, masyarakat di sekitar masih menganut agama Hindu dan juga kepercayaan animisme serta dinamisme.
Baru di abad ke 17 masyarakat di sekitar Kampung Pulo ini masuk Islam. Dan Eyang Embah melakukannya dengan cara bertahap bukan secara langsung.
Dalam proses penyebaran Islam diadakan upacara menggunakan sesaji untuk mudah masuk ke kalangan masyarakat Kampung Pulo pada masa itu.
Untuk melihat bukti penyebaran ajaran agama Islam yang dilakukan oleh Embah Dalem Arief Muhammad, para wisatawan bisa melihatnya di museum kecil yang letaknya tidak jauh dari makam keramat Eyang tersebut.
Di sini ada manuskrip Alquran yang digunakan pada abad ke 18 yang terbuat dari kertas berbahan pohon saeh atau Broussanetia papyrifera vent.
Menariknyamanuskrip khutbah Idul Fitri yang digelar di abad ke 18ini memiliki panjang sekitar 167 cm. Isinya mengenai puasa dan zakat fitrah adalah paling utama dan bisa memberikan pahala kepada umat Islam.
Kabarnya, penduduk Kampung Pulo ini berjumlah kurang lebih 23 warga. Dan merekamerupakan generasi ke 10 dari Eyang Embah Arief Muhammad.
Kampung Pulo
Di Kampung Pulo ini hanya terdiri dari 6 rumah serta 1 musholla. Dan jumlah tersebut kabarnya adalah simbol dari anak Embah Dalem Arief Muhammad yang hanya mempunyai 6 anak perempuan dan 1 anak laki-laki.
Uniknya lagi, komunitas di kampung ini tidak boleh menambah kepala keluarga. Jadi jika ada warga adat yang menikah diwajibkan untuk keluar dan membangun keluarga diluar dari Kampung Pulo.
Mereka baru diperbolehkan masuk jika orang tua seperti ayah atau ibu meninggal. Mereka nantinya akan mengisi kekosongan tersebut.
Dan yang mendapatkan hak waris adalah anak perempuan. Hal ini disebabkan untuk melanjutkan warisan yang ada di Kampung Pulo.
Di Kampung Pulo ini juga ada larangan adat yang cukup unik dan masih berlaku karena merupakan amanat dari Eyang Embang Dalem Arief Muhammad dimana masyarakatnya tidak diperbolehkan untuk berziarah di hari Rabu.
Pada hari Rabu masyarakat di Kampung Pulo biasanya menggelar pengajian dan memperdalam ilmu agama.
Selain itu warga setempat dilarang untuk memelihara hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau dan juga kambing. Hal ini untuk menjaga kebersihan kampung serta makam. Apalagi ditakutkan bisa merusak ladang hingga membuat area makam jadi kotor.
Larangan berikutnya adalah tidak boleh menabuh gong yang terbuat dari perunggu. Hal ini disebabkan Eyang Embah Dalem pernah mengalami kehilangan anak laki-laki yang meninggal akibat dikhitan.
Ketika itu sang anak diarak dengan tandu berbentuk prisma yang diiringi gamelan dengan gong besar. Pada saat yang sama, datang angin topan besar sehingga membuat anaknya meninggal. Sehingga muncullah larangan tersebut.
Larangan lainnya adalah warga setempat tidak diperkenankan untuk membuat atap rumah dengan bentuk jure atau prisma, harus memanjang. Belum diketahui dengan pasti alasan peraturan tersebut.
Untuk larangan terakhir adalah tidak boleh menambah dan mengurangi bangunan pokok dari kepala keluarga di Kampung Pulo. Pasalnya bangunan di sini sesuai dengan jumlah anak dari Eyang Embah Dalem.
Pesona Lokasi
Para wisatawan yang berlibur ke Candi Cangkuang dan Kampung Pulo dipastikan akan mendapatkan pengetahuan sejarah serta pengalaman budaya yang sangat berguna.
Disarankan untuk mengunjungi kawasan wisata ini di pagi atau sore hari. Karena pada saat waktu tersebut sinar matahari masih sejuk dan tidak akan membuat para wisatawan kepanasan.
Ditambah lagi sinar matahari di pagi dan sore hari membuat pemandangan di Candi Cangkuang semakin indah.
Fasilitas Yang Ada
Di sekitar Candi Cangkuang sudah bisa ditemukan transportasi umum yang bisa mengantarkan para wisatawan menuju ke kawasan candi dari terminal Garut. Angkutan ini akan berangkat ke Leuwigoong dan Kecamatan Leles.
Selain angkutan umum, fasilitas lainnya yang bisa didapatkan di sekitar kawasan wisata ini adalah rakit menuju Candi Cangkuang.
Selain itu sudah ada area parkir yang sangat luas bagi para pengunjung yang datang membawa kendaraan sendiri.
Ada pula warung dan tempat makan bagi para wisatawan yang lapar, lalu ada juga toilet, mushala hingga tempat belanja.
Para wisatawan harus membayar tiket masuk seharga 5 ribu untuk melihat dan mengambil foto atau gambar keindahan Candi Cangkuang tersebut.
[ad_2]